“Penghiburan yang murni.” Itulah ungkapan yang digunakan J. R. R. Tolkien untuk menggambarkan dukungan yang diberikan oleh teman dan koleganya, C. S. Lewis, saat ia menulis trilogi epos The Lord of the Rings. Novel serial itu dibuat Tolkien dengan telaten dan cermat, dan lebih dari dua kali ia mengetik sendiri naskah panjang tersebut. Ketika ia mengirimkan naskahnya kepada Lewis, sahabatnya itu menimpali, “Tahun-tahun panjang yang kau dedikasikan untuk naskah itu telah membuahkan hasil yang sepadan.”
Saat memilih laptop di toko elektronik, dua sahabat bertemu dengan Shaquille O’Neal, bintang bola basket yang terkenal. Karena mengetahui bahwa O’Neal baru saja kehilangan saudara perempuan dan seorang mantan rekan satu timnya, mereka pun menyampaikan belasungkawa kepadanya. Kemudian, saat mereka melanjutkan belanja, Shaq menghampiri dan meminta mereka untuk memilih laptop terbaik yang dijual di toko itu. Terharu oleh empati yang mereka tunjukkan, ia kemudian membelikan laptop pilihan mereka sebagai tanda terima kasih atas penghargaan mereka terhadap situasi pribadinya yang sulit.
“Allah sudah begitu baik kepada kami! Aku ingin bersyukur kepada-Nya atas ulang tahun pernikahan kami.” Suara Terry terdengar tenang, dan air mata yang mengalir memancarkan ketulusan hatinya. Para anggota kelompok kecil kami ikut terharu. Kami tahu pergumulan Terry dan Robert bertahun-tahun belakangan ini. Meskipun sudah beriman, Robert mengidap gangguan mental yang parah dan telah melakukan tindakan yang merenggut nyawa putri mereka yang berusia empat tahun. Robert harus dirawat di pusat rehabilitasi hingga puluhan tahun, tetapi Terry tetap berusaha mengunjunginya. Allah bekerja dengan indah dalam hati Terry dan menolongnya untuk rela mengampuni. Walau sangat terluka, cinta mereka berdua terus bertumbuh.
“Coba lihat, ini luar biasa!” seru istri saya, Cari. Ia mengajak saya melihat ke luar jendela ke arah seekor rusa betina yang berlarian dari ujung ke ujung di antara pepohonan, tepat di luar pagar rumah kami. Di dalam pagar, anjing-anjing besar kami berlari mengiringi langkah rusa itu tanpa menggonggong. Hampir satu jam mereka berlarian bolak-balik seperti itu. Ketika si rusa betina berhenti dan menghadap ke arah anjing-anjing tersebut, anjing-anjing kami ikut berhenti sambil mengambil ancang-ancang untuk berlari lagi. Ini bukan perilaku pemangsa dan mangsanya; rusa dan anjing-anjing itu sedang bermain dan menikmati kebersamaan mereka!
“Aku tidak melakukannya!” Saya berbohong, dan hampir berhasil, sampai Allah menghentikan saya. Ketika masih di SMP, saya dan beberapa teman pernah melontari band sekolah kami dari belakang dengan gumpalan-gumpalan kertas di tengah pertunjukan mereka. Kepala sekolah kami adalah seorang mantan marinir yang terkenal sangat disiplin, dan saya sangat takut kepadanya. Jadi, ketika teman-teman menyebut nama saya, saya pun berbohong. Saya juga berbohong kepada ayah saya.
“Aku telah mendoakanmu selama 50 tahun,” kata seorang wanita lanjut usia kepada teman saya, Lou. Lou menatap wanita itu dengan rasa syukur yang mendalam. Ia sedang mengunjungi suatu desa di Bulgaria tempat ayahnya tumbuh besar hingga remaja. Wanita yang beriman kepada Yesus itu tinggal di sebelah rumah kakek-nenek Lou. Begitu mendengar kelahiran Lou di belahan dunia yang lain, wanita itu mulai mendoakannya. Kini, lebih dari setengah abad kemudian, Lou mengunjungi desa itu dalam sebuah perjalanan bisnis, dan sementara berada di sana ia bersaksi kepada sekelompok orang mengenai imannya. Lou baru percaya kepada Tuhan Yesus saat ia hampir berusia 30 tahun, dan ketika wanita tadi menghampirinya setelah kesaksiannya, Lou pun terpikir tentang dampak dari ketekunan doa beliau terhadap keputusannya untuk percaya kepada Tuhan.
Ketika saya dan istri saya, Cari, lulus dari perguruan tinggi, kami memiliki utang beberapa ribu dolar yang perlu kami konsolidasikan dengan bunga yang lebih kecil. Namun, saat kami mengajukan pinjaman ke bank lokal, upaya kami ditolak karena kami belum lama tinggal atau bekerja di kota itu. Beberapa hari kemudian, saya menceritakan hal itu kepada Ming, seorang teman dan penatua di gereja kami. “Aku akan menyampaikan masalahmu kepada istriku,” katanya sambil berjalan ke luar gereja.
Meski Tuhan Yesus telah melepaskan putra saya Geoff dari kecanduan narkoba yang berlangsung bertahun-tahun, masih saja saya mengkhawatirkannya. Kami sudah melewati pasang surut bersama, tetapi terkadang saya masih berfokus pada masa lalunya yang kelam daripada masa depan yang telah Allah sediakan baginya. Para orangtua pecandu sering kali khawatir anak mereka kembali pada kebiasaan lama mereka. Suatu hari, dalam sebuah pertemuan keluarga, saya mengajak Geoff bicara dan berkata, “Ingat Nak, kita punya musuh yang kuat.” “Aku tahu, Ayah,” jawabnya. “Ia memang kuat, tetapi tidak berkuasa.”
Penyair William Cowper bergumul dengan depresi di hampir sepanjang hidupnya. Setelah percobaan bunuh diri yang gagal, ia dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Namun, di sanalah Cowper menjadi sungguh-sungguh percaya kepada Yesus lewat seorang dokter Kristen yang merawatnya. Tak lama setelah itu, Cowper berkenalan dengan John Newton, pendeta dan penulis himne pujian. Newton mendorong Cowper untuk berkolaborasi menuliskan serangkaian himne untuk gereja mereka. Salah satu himne karya Cowper berjudul “God Moves in a Mysterious Way” (Dengan Cara-Mu yang Ajaib), dengan kata-kata yang berasal dari pengalaman hidup yang sangat berat: “Orang percaya janganlah takut pencobaan, anug’rah Tuhan tetaplah menyertai anak-Nya; Tetaplah harap pada-Nya tak usah sangsilah, di balik kedahsyatan-Nya terpancar kasih-Nya” (NRM No. 135).